Just Me..

My photo
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Universitas Gunadarma Fakultas Ekonomi

Monday, November 23, 2009

65 Persen Kasus Keracunan Makanan Dari Katering

Bagus Kurniawan - detikNews
Yogyakarta - Kebanyakan penyebab terjadinya kasus keracunan makanan disebabkan oleh mikroba seperti bakteri, virus dan parasit. Sumber makanan yang menjadi penyebab kasus keracunan makanan sekitar 65 persen berasal dari perusahaan katering.

Hal itu diungkapkan Prof Dr Ir Umar Santoso MSc, dalam pidato pengukuhan guru besar bidang kimia pangan dan hasil pertanian Fakultas Teknologi Pertanian (FTP), di Balai Senat, Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa, (17/2/2009).

"Kasus keracunan karena makanan sangat sering terjadi di masyarakat. Hal ini mengindikasikan kondisi keamanan pangan di masyarakat sangat memprihatinkan," kata Umar.

Dia mengatakan sumber makanan yang menjadi penyebab kasus keracunan makanan berasal dari perusahaan katering sebanyak 65 persen. Makanan industri kecil sekitar 19 persen dan makan yang disiapkan rumah tangga sebesar 16 persen.

Jenis makanan yang menyebabkan kasus keracunana paling banyak berasal dari makanan utama, disusul jamur dan kemudian mie. Sedangkan kasus ini sering terjadi pada karyawan perusahaan 45 persen, sekolah 25 persen, dan masyarakat umum 20 persen.

"Korban yang menderita terjadi pada orang dewasa sekitar 75 persen, dan sisanya pada anak-anak," papar Umar yang menyampaikan pidato ilmiahnya berjudul 'Peranan Ahli Pangan dalam Mendukung Keamanan dan Kehalalan Pangan'.

Selain faktor keamanan pangan yang menjadi penyebab kasus keracunan makanan kata dia, praktek pemalsuan dalam perdagangan pangan juga kerap terjadi dan sangat memprihatinkan. Hal ini berdampak buruk tidak hanya menyangkut kualitas tetapi juga keamanan dan kehalalan pangan.

Menurut dia, penentuan halal dan haram pangan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu jenis bahan, cara penyiapannya, dan usaha untuk mendapatkannya. Konsep halal makanan dalam Islam sebetulnya sederhana, tetapi karena pengolahan dalam industri bersifat kompleks maka untuk menentukan status kehalalan produk menjadi tidak mudah.

"Adanya berbagai bahan tambahan pangan menjadi titik kritis penentuan status kehalalan," katanya.

Dia menyebutkan untuk verifikasi status kehalalan suatu bahan dapat dilakukan dengan dua pendekataan, yaitu dengan penelusuran asal-usul bahan, atau dengan autentikasi bahan melalui analisis kimia sejauh teknologi memungkinkan.

Meski demikian, menurutnya para ilmuwan berusaha menerangkan alasan pengharaman berdasarkan kajian ilmiah. Mungkin sebagian alasan tidak dapat terjangkau dengan pendekatan ilmiah saat ini. Beberapa makanan yang diharamkan dalam Islam diantaranya bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah SWT.

Beberapa makanan yang disebutkan itu, lanjut Umar, tentang diharamkannya bangkai, secara ilmiah dapat dijelaskan bahwa bangkai binatang merupakan bahan yang mudah mengalami pembusukan, baik karena proses enzimatis maupun karena serangan bakteri.

"Bakteri akan memecah zat-zat gizi dan selama pembusukan sehingga timbul senyawa-senyawa bersifat toksik," jelasnya.

Adapun darah, merupakan cairan alat transport baik zat-zat gizi maupun zat racun dalam tubuh. Sehingga produk-produk metabolisme dan mikroorganisme serta virus penyebab penyakit didistribusikan oleh darah.

Selain itu, daging babi merupakan jenis makan yang mudah memberikan reaksi alergi, karena kandungan histamin dan senyawa imidazole dapat menimbulkan gejala inflamsai.

"Daging babi merupakan daging banyak mengandung parasit dibanding hewan lain yang dikonsumsi manusia," katanya.

Dia menambahkan konsep halal untuk sekarang ini telah memberikan peluang baik bagi pengusaha muslim maupun non muslim untuk dapat menjadikannya bisnis yang besar baik domestik maupun pasar global. Permintaan produk halal meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk muslim dan meningkatknya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan yang bergizi, menyehatkan, aman dan halal.

"Industri pangan halal global telah memanfaatkan konsep 'halalalan-thayyiban' sebagai alat untuk pemasaran. Apalagi dengan jumlah penduduk muslim dunia sekitar 1,3 miliar dimana di Indonesia, penduduk muslim lebih dari 85 persen atau sekitar 170 juta orang," pungkasnya.

(bgs/mad)

No comments: