BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setelah runtuhnya sistem Bretton Woods dan berkembangnya sistem kurs mengambang, bagi negara berkembang peranan kurs valas menjadi sangat penting, terutama terhadap mata uang keras (hard currencies) seperti dolar AS, dan Yen Jepang. Pentingnya kurs valas ini, karena sebagai negara yang tengah melakukan pembangunan ekonomi, maka kurs valas akan berhubungan langsung dengan sektorsektor perdagangan luar negeri, investasi, bahkan berkaitan langsung dengan beban utang luar negeri yang merupakan sumber dana pembangunan. Oleh karena itu, kestabilan dan keterjangkauan kurs mutlak diperlukan.
Fenomena terbaru yang berhubungan dengan kurs valas yaitu terjadinya fluktuasi kurs yang tajam di Indonesia selama periode krisis ekonomi dan moneter mulai pertengahan tahun 1997, di mana nilai kurs meningkat dan berfluktuasi secara tajam. Gejolak nilai kurs ini tidak lepas dari pengaruh variabel-variabel non-ekonomi yang seringkali lebih berpengaruh dalam menciptakan fluktuasi kurs valas. Selama periode krisis ekonomi kita dapat menyaksikan bahwa nilai kurs ini sangat mempengaruhi kondisi perekonomian domestik. Terpuruknya mata uang domestic (Rupiah) terhadap mata uang asing yang menjadi awal dari krisis ekonomi, pada dasarnya berasal dari permintaan akan uang luar negeri yang begitu tinggi, sedangkan penawarannya terbatas. Hal ini membuat nilai valuta asing (valas) keras seperti Dolar AS dan Yen Jepang membubung tinggi. Selain itu nilai kurs juga tidak lepas dari variabel-varibel lain seperti tingkat suku bunga dalam dan luar negeri, jumlah uang beredar, tingkat harga yang diindikasikan dengan tingkat inflasi, serta variable-variabel ekonomi dan non-ekonomi lainnya. Hal-hal itulah yang membuat nilai kurs valas bersifat rentan (volatile). Fluktuasi kurs ini membuat sektor-sektor perdagangan dan sektor riil kolaps, serta beban utang luar negeri yang merupakan sebagian dana untuk pembangunan menjadi semakin besar.
Proses percepatan pemulihan ekonomi untuk mencapai kondisi perekonomian seperti sebelum pertengahan tahun 1997 tidak lepas dari usaha untuk menciptakan sistem kurs valas yang mendukung kestabilan dan keterjangkauan kurs. Bahkan sampai saat ini pelaku-pelaku ekonomi masih dibayangi terjadinya krisis ekonomi lanjutan yang merupakan ekses buruk dari fluktuasi kurs valas. Hal ini membawa dampak buruk bagi percepatan proses pemulihan ekonomi.
Berdasarkan peran kurs valas yang cukup besar dalam mempengaruhi kondisi perekonomian domestik tersebut, maka studi ini akan mencoba mengkaji: (1) Pengaruh dan seberapa besar beberapa variabel ekonomi fundamental dalam mempengaruhi kurs valas Rp/US$ dan Rp/Yen; (2) mencari model terbaik yang memiliki daya prediksi paling efisien dalam mengantisipasi gejolak kurs.
BAB II
ISI
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Teori Paritas Internasional
Salah satu teori yang digunakan untuk menjelaskan kurs mata uang adalah teori Paritas Daya Beli (purchasing power parity) yang diperkenalkan oleh Gustav Cassel tahun 1918. Teori paritas daya beli ini menghubungkan kurs valas dengan dengan harga-harga komoditi yang dinyatakan dalam uang lokal di pasar internasional (Baile & McMohan, 1989:16-19). Hubungan antara kurs valas dan harga komoditi dalam doktrin paritas daya beli yaitu kurs valas akan cenderung menurun dengan proporsi yang sama dengan kenaikan harga.
Teori paritas daya beli memiliki dua bentuk yaitu paritas daya beli absolut dan paritas daya beli relatif. Paritas daya beli absolut menyatakan bahwa keseimbangan nilai mata uang dalam negeri terhadap nilai mata uang luar negeri merupakan perbandingan harga absolut dalam dan luar negeri.
Paritas daya beli relative menyatakan bahwa kurs valas merupakan suatu prosentase perbandingan perubahan harga absolut dalam negeri terhadap luar negeri.
Paritas suku bunga (interest rate parity) merupakan teori yang paling dikenal dalam keuangan internasional. Doktrin paritas suku bunga ini mendasarkan nilai kurs berdasarkan tingkat bunga antar negara yang bersangkutan. Dalam Negara dengan sistem kurs valas bebas, tingkat bunga domestik (i) cenderung disamakan dengan tingkat bunga luar negeri (i*) dengan memperhitungkan perkiraan laju depresiasi mata uang negara yang bersangkutan terhadap negara lain (Baile dan McMohan, 1986:20-26).
Teori paritas suku bunga terdiri dari dua bentuk yaitu paritas suku bunga tertutup (covered interest rate parity) dan paritas suku bunga tidak tertutup (uncovered interest rate parity). Paritas Suku Bunga Tertutup (Covered Interest Rate Parity) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kurs spot, kurs forward, dan variabel suku bunga. Paritas suku bunga tertutup ini menjelaskan hubungan yang erat antara suku bunga dengan pergerakan kurs spot dan kurs forward mata uang tertentu khususnya mata uang keras (hard currency) seperti dolar Amerika dan Yen Jepang. Paritas suku bunga tertutup dipandang sebagai dasar yang lebih relevan untuk menjelaskan kurs valas.
Paritas Suku Bunga Tidak Tertutup (Uncovered Interest Rate Parity) juga digunakan untuk menganalisis model kurs valas. Dalam teori paritas suku bunga tidak tertutup, diasumsikan pasar yang efisien terjadi bila kurs forward merupakan peramal yang tidak bias untuk nilai kurs spot pada masa yang akan dating (Syafrudin, 1994:53).
2.1.2 Model Frenkel-Bilson
Model harga fleksibel (fleksible price model) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara suku bunga dengan kurs valas (teori suku bunga riil terhadap kurs). Teori ini dikenal dengan teori Chicago karena memuat asumsi harga fleksibel. Asumsi ini menimbulkan konsekuensi bahwa suku bunga nominal harus mencerminkan perubahan tingkat inflasi yang diharapkan. Dasar teori Frenkel menyatakan bahwa kurs akan mencapai keseimbangan bila terdapat stok uang dua negara yang ingin dipegang. Karena itu, harga relatif mata uang kedua negara harus dinyatakan dalam bentuk penawaran dan permintaan.
Persamaan yang diturunkan oleh Jakob A. Frenkel (1976) dan John F.O. Bilson (1976) memiliki tingkat perkiraan yang cukup terkenal, yang menyatakan bahwa kenaikan x% dari penawaran uang domestik akan menyebabkan depresiasi kurs sebesar x%. Dengan kata lain sifat kurs adalah homogen pada derajat satu terhadap permintaan uang (L Lewellyn & Miler, 1979: 79).
Kenaikan pendapatan nominal domestik relatif terhadap luar negeri akan menimbulkan apresiasi kurs valas, di mana harga-harga dalam negeri akan turun relative terhadap harga luar negeri, (S) akan turun. Pendapat ini berlawanan dengan teori pendekatan neraca pembayaran terhadap kurs valas yang menyatakan bahwa hubungan tingkat pendapatan nominal dengan kurs valas adalah positif. Pengaruh tingkat pendapatan dalam keadaan pasar kurs harga fleksibel menekankan pada fungsi
permintaan uang. Kenaikan pendapatan suatu negara akan meningkatkan permintaan uang. Jika doktrin paritas daya beli berlaku dan jumlah uang beredar konstan, maka kurs akan mengalami apresiasi untuk menyeimbangkan permintaan uang riil terhadap penawaran uangnya (Frankel, 1976:201).
Kenaikan tingkat bunga relative dalam negeri terhadap luar negeri akan menyebabkan depresiasi mata uang (kenaikan kurs valas atau kenaikan nilai kurs luar negeri), sehingga akan ada hubungan positif antara selisih tingkat suku bunga dengan nilai kurs valas. Kurs valas diprediksi akan melemah nilainya akibat adanya inflasi dan kenaikan suku bunga. Naiknya suku bunga domestik berarti akan terjadi kenaikan tingkat harga dalam negeri.
2.1.3 Model Dornbusch-Frankel
Pendekatan dalam model Dornbusch-Frankel sering disebut pendekatan Keynesian karena asumsi-asumsi yang dipakai yaitu (Tucker, et. al., 1989: 62):
1. Setiap penawaran uang bersifat endogen dan berhubungan positif dengan suku bunga pasar.
2. Paritas daya beli hanya berlaku dalam jangka panjang.
3. Paritas suku bunga tidak tertutup berlaku dalam jangka pendek.
Doktrin ini mengacu pada formulasi selisih suku bunga riil.
Dornbush dan Frankel (1976) menggabungkan kedua persamaan permintaan uang konvensional di atas sehingga:
m-m*=P-P*+α(Y-Y*)-β(i-i*)
karena S=P-P*, maka
S= (m-m*)-α(Y-Y*)+β(i-i*)
dengan berpedoman pada dasar system selisih bunga riil:
S-SI=a(i-η)-(i*- η*)
S=(m-m*)-α(Y-Y*)+β(i-i*)+
η adalah variabel inflasi.
Teori keynesian menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara kurs valas dan suku bunga nominal (Frankel, op.cit: 610). Perubahan suku bunga nominal merupakan refleksi dari kebijakan uang ketat (tight money policy) oleh pemerintah. Saat penawaran uang lebih banyak daripada permintaan, maka otoritas moneter akan melakukan kebijakan uang ketat dengan menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga akan meningkatkan arus capital (capital inflow) yang akan berdampak positif pada apresiasi kurs domestik.
2.1.4 Model Hooper-Morton
Tahun 1982, model Dornbush dan Frankel ini diperluas oleh Hooper-Morton dengan melibatkan variabel neraca transaksi berjalan (Current Account). Pemakaian variabel CA ini didasarkan pendapat Morton bahwa terdapat perubahan kurs dalam jangka panjang yang berhubungan dengan neraca transaksi berjalan. Hooper-Morton menganggap koefesien nilai CA tidak mungkin nol. Neraca transaksi berjalan suatu negara yang mengalami defisit terus menerus akan memperlemah kurs domestik karena deficit transaksi neraca berjalan membutuhkan valas untuk menutupnya.
2.1.5 Spesifikasi Model Kurs Valas
Dari ketiga model kurs valas yaitu model Frenkel-Bilson, Dornbusch-Frankel, dan Hooper-Morton, selanjutnya spesifikasi model untuk masing-masing kasus baik Rp/US$ maupun Rp/Yen seperti dibawah ini:
2.1.5.1 Spesifikasi Model Kurs Valas Rp/US$
Model-model kurs valas dengan pendekatan moneter di atas akan dipakai untuk menganalisis kurs Rp/US$ dengan spesifikasi model awal sebagai berikut:
Keterangan :
LSU=Log. Kurs spot Rp/US$
LM1=Log. Selisih JUB (M2) Indonesia terhadap JUB Amerika (M1+quasy money)
LY1=Log. Ratio tingkat pendapatan nasional (PDB) Indonesia terhadap pendapatan nasional (PDB) Amerika.
i1=Selisih tingkat bunga deposito (i) Indonesia terhadap Amerika (i*)
Inf1=Selisih tingkat Inflasi (η) Indonesia terhadap tingkat inflasi (η*) Amerika.
CA1=Selisih neraca transaksi berjalan (CA) Indonesia terhadap neraca transaksi berjalan (CA*) Amerika.
2.1.5.2 Spesifikasi Model Kurs Valas Rp/Yen
Spesifikasi model kurs untuk menganalisis fluktuasi kurs Indonesia terhadap Jepang (Rp/Yen) seperti halnya dengan spesifikasi model kurs Indonesia terhadap Amerika (Rp/US$) yaitu:
Keterangan :
LS2=Log. Kurs spot Rp/Yen
LM2=Log. Selisih JUB (M2) Indonesia terhadap JUB Jepang (M1+quasy money)
LY2=Log. Ratio tingkat pendapatan nasional (PDB) Indonesia terhadap pendapatan nasional (PDB) Jepang.
i2=Selisih tingkat bunga deposito (i) Indonesia terhadap Jepang (i*)
Inf2=Selisih tingkat inflasi (η) Indonesia terhadap tingkat inflasi Jepang (η*)
CA2=Selisih neraca transaksi berjalan (CA) Indonesia terhadap neraca transaksi berjalan (CA*) Jepang.
2.1.6 Metodologi BOX-JENKINS
Metode Box-Jenkins dengan ARMA (Autoregressive-moving average) adalah metode yang menggabungkan banyak unsure dalam teori dan banyak dipakai untuk tujuan peramalan (forecasting). Metode Wold (1951) ini menggabungkan dua pola serial waktu yaitu AR (Autoregressive) oleh Yule (1926) dan MA (moving average) oleh Slutzky (1937).
Metode AR (Autoregressive) dapat diformulasikan sebagai berikut:
Yt=aYt-1+bYt-2+…+cYt-n+ut
Variabel-variabel aYt-1,bYt-2,cYt-n, merupakan variabel yang sama, sehingga disebut auto atau periode yang lampau.
Metode MA (Moving Average) dapat diformulasikan sebagai berikut:
Ut= qUt-1+rUt-2+…+zUt-n+ut
di mana; Ut=kesalahan/residu yang mewakili gangguan acak yang sukar untuk diprediksi.
Penggabungan dari kedua metode di atas menghasilkan metode ARMA (autoregressive-moving average):
Yt=a+
Model di atas menggunakan variabel yang sama (variabel dependent dipengaruhi variabelnya sendiri, sehingga sifatnya sulit diprediksi) sehingga model ini dinamakan model random walk. Perbedaan intersept yang mungkin timbul disebut drift:
Yt=a+bT+
Model ARMA di atas bisa juga untuk memprediksi model yang ada, sehingga metode ARMA tersebut berbentuk:
Yt=a+bXt+
Gabungan antara model AR dan MA melahirkan model ARIMA atau Box-Jenkins. Tahapan utama proses Box-Jenkins dirangkum dalam Gambar 1.
Model-model dimana variabel penjelasnya dianggap baik dan layak digunakan untuk memprediksi ketidakpastian di masa yang akan datang, apabila memiliki RMSE (Root of mean squared error) yang lebih kecil (Kuncoro, 2001). RMSE merupakan akar dari nilai rata-rata kuadrat kesalahan (MSE). MSE didapatkan dengan membagi jumlah kuadrat kesalahan, Sum of Squared Error (SSE) dengan jumlah observasi dikurangi variabel termasuk intersepnya.
MSE=SSE/(n-k)
RMSE=
Gambar 1. Metodologi Box-Jenkins untuk Model ARIMA
Proses identifikasi akan dilakukan untuk menentukan derajat AR dan MA, dengan ketentuan ketika otokorelasi menurun secara eksponsial mendekati 0, maka model tersebut adalah AR, dan ordenya ditetapkan dengan jumlah otokorelasi parsial yang signifikan secara statistik. Model MA akan tepat bila otokorelasi parsial menurun secara eksponensial menjadi nol, dengan orde jumlah otokorelasi yang signifikan secara statistik. Model ARMA adalah merupakan model terbaik bila otokorelasi maupunotokorelasi parsial menurun secara eksponensial menjadi nol. Hal ini tidak menjamin signifikannya AR dan MA, sehingga lebih lanjut perlu dilakukan uji kendala linear. Model yang dibentuk akan cocok dan layak digunakan untuk peramalan bila bila nilai residual model bersifat stasioner.
2.2 Hasil dan Analisis
2.2.1 Indonesia-Amerika (Rp/US$)
Data moneter yang yang dipakai untuk menganalisis fluktuasi kurs Rp/US$ maupun Rp/Yen, adalah data kuartalan selama periode 1983.2-2000.3. Setelah lolos dari uji akar-akar unit dan uji stasioneritas, selanjutnya ketiga model kurs valas tersebut diregresi dengan menggunakan metodologi Box-Jenkins. Hasil regresi dapat dilihat dalam Tabel 1.
Hasil regresi ketiga model di atas menunjukkan bahwa model 1 atau model kurs valas valas Frenkel-Bilson dengan variabel fundamental ekonomi jumlah uang beredar (JUB), tingkat pendapatan nasional, dan tingkat suku bunga signifikan dalam menjelaskan fenomena fluktuasi kurs valas Rp/US$ selama periode 1983.2-2000.3. Model 2 (Model Dornbusch-Frankel) dan model 3 (model Hooper-Morton) menunjukkan pengaruh variabel JUB, pendapatan nasional, dan tingkat inflasi signifikan dalam menjelaskan fenomena fluktuasi kurs valas Rp/US$. Variabel transaksi berjalan (current account) ternyata tidak signifikan dalam menjelaskan fluktuasi kurs valas. Jadi hasil regresi di atas menolak pendapat Hooper-Morton bahwa dalam jangka panjang CA akan mempengaruhi kurs valas. Perlu diperhatikan bahwa model-model di atas memiliki indikasi tidak lolos berbagai asumsi-asumsi klasik. Sehingga kita tidak bisa menggunakan model tersebut sebagai kesimpulan.
Selanjutnya model kurs valas Frenkel-Bilson yang layak untuk diterapkan dalam menganalisis fluktuasi kurs di Indonesia, akan dibandingkan dengan model kurs valas kasus Indonesia yang melibatkan variabel JUB, pendapatan nasional, dan tingkat inflasi, di mana sebelumnya diturunkan satu kali (first difference).
Model kurs valas Frenkel-Bilson sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2 di bawah ini layak diterapkan dalam menganalisis fluktuasi kurs valas Rp/US$, sebagaimana ditunjukkan dengan signifikannya variabel-variabel fundamental ekonomi dalam model. Nilai konstanta dengan tanda negatif menunjukkan terdapatnya kecenderungan Rupiah akan menguat terhadap US$. Variabel pendapatan nasional ternyata menyumbang proporsi yang lebih besar (0,74>0,25) dalam mendepresiasi nilai kurs Rp/US$ disbanding variabel jumlah uang beredar (JUB). Jadi bila terdapat kenaikan pendapatan nasional dan jumlah uang beredar (JUB) di Indonesia terhadap pendapatan nasional dan jumlah uang beredar (JUB) Amerika, akan menyebabkan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap dolar. Variabel tingkat suku bunga signifikan dalam mengapresiasi nilai Rp/US$. Jadi kenaikan tingkat suku bunga dalam (i) negeri terhadap suku bunga (i*) di Amerika Serikat akan menyebabkan penguatan/apresiasi Rupiah terhadap US$. Ini artinya instrumen tingkat suku bunga yang dimiliki Bank Sentral Indonesia dapat digunakan untuk mempengaruhi fluktuasi nilai kurs Rp/US$. Untuk memperkuat nilai Rp/US$ Bank Indonesia akan menaikkan tingkat suku bunga, dengan tujuan untuk mengabsorbsi JUB, menekan angka inflasi, serta mengurangi kegiatan spekulasi dari fluktuasi kurs Rp/US$, sehingga fluktuasi nilai Rp/US$ dapat dikurangi. Krisis ekonomi dan moneter mulai pertengahan 1997 sebagaimana ditunjukkan variabel dummy (DI) signifikan dalam mendepresiasi nilai Rp/US$, walaupun masih kurang dari proporsi pengaruh variabel pendapatan nasional dan jumlah uang yang beredar. Faktor fluktuasi kurs Rp/US$ masa lampau, sebagaimana di tunjukkan variabel AR (1) akan memberikan dampak psikologis yang cukup besar dalam mengapresiasi nilai Rp/US$. Hal ini ditunjukkan nilai koefisien variabel AR (1) yang bertanda negatif sebesar -0,4.
Model kurs kasus Indonesia, yang melibatkan variabel fundamental ekonomi pendapatan nasional, jumlah uang beredar (JUB), dan tingkat inflasi memberikan hasil yang hampir sama dengan model kurs valas Frenkel-Bilson. Perbedaan yang ada terletak pada variabel inflasi yang memberikan pengaruh dalam mendepresiasi nilai Rp/US$. Jadi kenaikan tingkat inflasi Indonesia terhadap inflasi Amerika akan menyebabkan melemahnya nilai Rupiah terhadap US$. Variabel pendapatan nasional dan jumlah uang beredar memberikan hasil yang hampir sama dengan pengaruh pendapatan nasional dan JUB dalam model Frenkel-Bilson dimana tingkat pendapatan nasional dalam mempengaruhi kurs Rp/US$ lebih dari pengaruh JUB terhadap kurs Rp/US$. Fluktuasi kurs Rp/US$ di masa lalu sebagaimana ditunjukkan variabel AR(1) akan memberikan dampak psikologis yang cukup besar dalam memperkuat nilai tukar Rp terhadap dolar, sebesar 20%.
Nilai RMSE (root of mean squared error) masing-masing model menunjukkan angka yang berbeda. Dengan mengacu pada nilai RMSE, model kurs valas kasus Indonesia yang melibatkan variabel jumlah uang yang beredar, tingkat pendapatan nasional dan tingkat suku bunga, merupakan model yang terbaik untuk menganalisis fluktuasi kurs Rp/US$. Namun kita tidak dapat mengabaikan Model kurs valas Frenkel-Bilson yang memiliki nilai RMSE lebih besar disbanding model kurs valas kasus Indonesia, karena baik model Frenkel-Bilson yang melibatkan variabel suku bunga maupun model kasus Indonesia yang melibatkan tingkat inflasi, masing-masing relevan untuk diterapkan untuk menganalisis fluktuasi kurs Rp/US$.
2.2.2 Indonesia-Jepang (Rp/Yen)
Ketiga model kurs valas yaitu model Frenkel-Bilson, Dornbusch-Frankel, dan model Hooper-Morton selanjutnya dianalisis dengan metodologi Box-Jenkins dalam kasus Indonesia-Jepang (Rp/Yen). Hasil regresi pada Tabel 3.
Hasil regresi ketiga model kurs valas tersebut di atas ternyata memberikan hasil yang kurang memuaskan. Hanya variabel jumlah uang yang beredar (JUB) dan tingkat inflasi dalam model 2 (Model Dornbusch-Frankel) dan model 3 (model Hooper-Morton) yang signifikan dalam menjelaskan fluktuasi kurs valas Rp/Yen. Fluktuasi kurs masa lalu yang ditunjukkan dalam variabel AR(1), memberikan dampak psikologis bagi depresiasi Rupiah terhadap Yen. Ketiga model kurs valas di atas tidak layak untuk diterapkan dalam kasus fluktuasi kurs Rp/Yen, dengan banyaknya variabel-variabel fundamental ekonomi dalam model tidak signifikan dalam menjelaskan fenomena fluktuasi kurs Rp/Yen.
Dengan mengacu pada hasil regresi di atas, di mana variabel jumlah uang beredar (JUB) dan tingkat inflasi saja yang signifikan dalam menjelaskan fenomena fluktuasi kurs Rp/Yen, selanjutnya model kurs valas yang melibatkan variabel jumlah uang beredar dan tingkat inflasi, dianalisis dengan pendekatan Box-Jenkins, dan hasil regresi pada Tabel 4.
Hasil model kurs valas Rp/Yen dengan melibatkan variabel jumlah uang beredar (JUB) dan tingkat inflasi di atas layak untuk diterapkan dalam menjelaskan fenomena fluktuasi kurs valas Rp/Yen. Hal yang cukup menarik dari hasil regresi di atas adalah pengaruh variabel jumlah uang yang beredar (JUB) berlawanan dengan teori dalam mempengaruhi kurs Rp/Yen. Jumlah uang beredar memiliki koefisien negatif dalam mempengaruhi kurs Rp/Yen. Ini artinya jika terjadi kenaikan jumlah uang beredar di dalam negeri terhadap jumlah uang beredar di Jepang, justru akan memperkuat/mengapresiasi Rupiah terhadap Yen. Arah hubungan jumlah uang beredar terhadap kurs Rp/Yen yang berlawanan dengan teori ini kemungkinan besar disebabkan minat dan arus investasi yang cukup besar dari investor-investor Jepang dalam menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga permintaan Rupiah meningkat dan memperkuat nilai Rupiah terhadap Yen Jepang, walaupun terdapat kenaikan JUB Indonesia terhadap JUB Jepang.
Tingkat inflasi Indonesia terhadap Jepang berpengaruh dalam mendepresiasi nilai tukar Rp/Yen. Hal ini berarti kenaikan tingkat inflasi di Indonesia terhadap tingkat inflasi Jepang akan menyebabkan depresiasi nilai Rupiah terhadap Yen. Krisis ekonomi mulai pertengahan tahun 1997 seperti ditunjukkan variabel dummy (DI) tidak signifikan dalam menjelaskan fluktuasi kurs Rp/Yen. Fluktuasi kurs Rp/Yen di masa lalu sebagaimana ditunjukkan variabel AR(1) memberikan dampak psikologis yang cukup berarti (0,324) dalam mendepresiasi Rupiah terhadap Yen Jepang. Kecenderungan terus melemahnya nilai Rupiah terhadap Yen Jepang pada umumnya lebih banyak disebabkan pengaruh dari utang luar negeri Indonesia terhadap Jepang yang dari tahun ke tahun semakin besar.
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil analisis regresi modelmodel kurs valas dengan pendekatan Box-Jenkins dalam kasus Indonesia-Amerika (Rp/US$), Indonesia-Jepang (Rp/Yen) selama periode 1983.2-2000.3 diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Pertama, dengan cocok dan layaknya model kurs valas Frenkel-Bilson yang melibatkan variabel fundamental ekonomi jumlah uang beredar (JUB), tingkat pendapatan nasional, dan tingkat suku bunga, serta signifikannya variabel-variabel fundamental ekonomi tersebut dalam menjelaskan fluktuasi kurs Rp/US$, menghasilkan temuan bahwa doktrin paritas suku bunga (interest rate parity) berlaku dalam mempengaruhi fluktuasi kurs valas Rp/US$.
Kedua, model kurs valas kasus Indonesia yang melibatkan variabel fundamental ekonomi, jumlah uang beredar, tingkat pendapatan nasional, dan tingkat inflasi serta signifikannya variabelvariabel fundamental ekonomi dalam model tersebut dalam menjelaskan fenomena fluktuasi kurs Rp/US$ memberikan hasil bahwa model tersebut layak dan cocok untuk diterapkan untuk menganalisis kurs Rp/US$. Variabel tingkat inflasi Indonesia terhadap Amerika Serikat signifikan dalam menjelaskan fenomena fluktuasi kurs Rp/US$. Hal ini menghasilkan kesimpulan bahwa doktrin paritas daya beli juga berlaku dalam mempengaruhi fluktuasi kurs Rp/US$.
Ketiga, ketiga model kurs valas yaitu model kurs valas Frenkel-Bilson, Dornbusch-Frankel, maupun model Hooper-Morton tidak bisa diterapkan untuk menganalisis fluktuasi kurs Rp/Yen. Model kurs Rp/Yen dengan melibatkan variabel jumlah uang beredar dan tingkat inflasi justru mampu menjelaskan fenomena fluktuasi kurs Rp/Yen. Variabel tingkat inflasi Indonesia terhadap inflasi Jepang bertanda positif dan
signifikan. Ini berarti doktrin paritas daya beli (purchasing power parity) juga berlaku dalam mempengaruhi fluktuasi kurs Rp/Yen.
Berdasarkan hasil dari analisis kurs valas dengan pendekatan Box-Jenkins, ada beberapa implikasi kebijakan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dan otoritas moneter. Dampak fluktuasi kurs valas yang cukup besar dalam perekonomian Indonesia, serta gambaran umum mengenai keadaan perekonomian akibat fluktuasi kurs valas, seperti yang terjadi mulai pertengahan bulan Agustus 1997, menuntut pemerintah dan otoritas moneter untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang kondusif bagi terciptanya stabilitas kurs valas. Kebijakan otoritas moneter dalam membatasi transaksi valas dengan tujuan untuk mengurangi gejolak nilai tukar rupiah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.3/3/PBI/2001, sejak 12 Januari 2001, menjadi tidak relevan lagi, dengan mengacu dari hasil penelitian ini.
Pembatasan transaksi valas yang dilakukan oleh Bank Indonesia tersebut dikhawatirkan akan menghambat proses pemulihan ekonomi, memberikan dampak buruk bagi perkembangan investasi asing, dan menghambat perkembangan sector ekspor. Otoritas moneter sebaiknya lebih mengutamakan kebijakan pengendalian variabel-variabel fundamental ekonomi yang mempengaruhi fluktuasi kurs valas, seperti pengendalian jumlah uang yang beredar (JUB), kebijakan target inflasi, dan tingkat suku bunga untuk mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah.
Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya fluktuasi nilai tukar adalah: Pertama, menciptakan sistem manajemen perekonomian yang melibatkan resiko valas. Kedua, pengendalian variabel-variabel ekonomi fundamental tetap sangat diperlukan untuk menciptakan stabilitas kurs valas, dan untuk itu pemerintah dituntut untuk menciptakan kebijakankebijakan yang tepat dalam menciptakan indikator-indikator fundamental ekonomi yang mendukung bagi terciptanya stabilitas dan keterjangkauan kurs valas. Ketiga, pemerintah perlu menciptakan kebijakankebijakan ekonomi yang mampu mengeliminir gejolak perekonomian yang tidak dapat diredam secara otomatis, sebagai misalnya kebijakan percepatan penyehatan sistem perbankan nasional dan penyelesaian utang luar negeri. Keempat, kebijakan ekonomi yang dapat memastikan proses penyesuaian dapat berjalan dengan otomatis sangat diperlukan, misalkan kebijakan yang cukup responsive bila terjadi fluktuasi nilai tukar khususnya di sector perdagangan internasional (ekspor impor) dan investasi asing.
Implikasi kebijakan-kebijakan dalam bidang ekonomi dan moneter di atas perlu diperhatikan oleh pemerintah dan otoritas moneter. Kebijakan-kebijakan di bidang moneter yang tepat dan efisien diharapkan mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi terciptanya kestabilan kurs valas, serta memberikan dampak positif bagi perkembangan perekonomian pada umumnya.
Kalo Yang mau download jurnalnya disini
No comments:
Post a Comment