Bandung, Kompas - Survei yang dilakukan Bank Indonesia Bandung terhadap perusahaan tekstil dan produk tekstil menunjukkan bahwa secara keseluruhan penerapan perjanjian kawasan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) berdampak negatif terhadap kinerja perusahaan.
Survei dilakukan terhadap 75 perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) menengah-besar di Jawa Barat dan Banten selama Februari-Maret 2010. Jumlah responden yang berpendapat bahwa ACFTA yang diberlakukan sejak awal 2010 berdampak negatif mencapai 88,5 persen atau 66 perusahaan.
Menurut Peneliti Ekonomi Madya/Hubungan Masyarakat BI Bandung Naek Tigor, Selasa (4/5) di Bandung, dampak negatif utama ACFTA adalah perkiraan penurunan penjualan di pasar dalam negeri. Akan tetapi, survei tersebut tak menyertakan pertanyaan mengenai angka penurunan penjualan itu.
Dalam menghadapi ACFTA, para pengusaha TPT mengharapkan dukungan pemerintah, yakni ketersediaan infrastruktur yang memadai, terutama jalan darat dan listrik. Mereka juga meminta jaminan kepastian hukum serta proses perizinan yang transparan dan sederhana.
"Harapan lain yakni pembebasan pungutan dan bea masuk impor bahan baku bagi eksportir. Pengusaha juga meminta kemudahan serta keringanan biaya ekspor," ujarnya.
Dukungan itu sangat diperlukan karena rata-rata pengusaha masih menganggap jalan rusak, pemadaman listrik, pajak, atau pungutan sebagai penghambat usaha serta rumitnya proses perizinan sebagai kendala. Meski muncul dampak negatif, mayoritas responden menyatakan siap menghadapi ACFTA.
Kenaikan harga bahan baku
President Director PT Firman Jaya Dua Saudara Eddy Soekwanto mengatakan, penurunan penjualan TPT disebabkan harga bahan baku yang naik signifikan. Harga benang katun, misalnya, naik dari 480 dollar AS per bal pada Januari 2010 menjadi 650 dollar AS saat ini.
Setiap bal memiliki berat 181,4 kilogram. Peningkatan harga itu membuat harga produk naik sekitar 10 persen. Harga kaus Rp 100.000, misalnya, naik menjadi Rp 110.000. Padahal, produk yang dibuat pada 2009 dengan harga lama masih melimpah.
"Konsumen diberi harga baru tentu tidak mau beli. Maka, perusahaan mengurangi produksi sekitar 20 persen," kata Eddy. Dicontohkan, perusahaan besar yang mampu menghasilkan 80 ton TPT kini hanya memproduksi sekitar 65 ton. "Sekarang pengusaha mau menunggu dua hingga tiga bulan lagi dan berharap kenaikan harga bahan baku yang membuat industri TPT lesu bisa kembali stabil," ungkapnya.
Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Daerah Jabar Dedy Wijaya, penjualan beberapa sektor usaha memang menurun sejak ACFTA berlaku. Akan tetapi, banyak sektor lain di Jabar yang justru lebih berkembang, seperti otomotif, alas kaki, dan pertambangan.
"Ada beberapa sektor yang bergejolak, tapi tidak semuanya. Buktinya, pertumbuhan ekonomi naik. Memang ada perusahaan tekstil tutup, tapi hanya beberapa," katanya.
Kondisi itu, antara lain, disebabkan mesin tekstil yang sudah usang dengan usia hingga 30 tahun. Mesin tua itu perlu diganti. Pada umumnya, ujar Dedy, penurunan penjualan pada sektor-sektor usaha belum begitu terasa sejak ACFTA diterapkan.
Ia menambahkan, faktor yang harus diwaspadai adalah kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 10 persen mulai Juni 2010. "Kenaikan TDL akan menjadi hambatan dunia usaha. Apalagi, harga minyak dunia juga sudah tinggi," katanya. (bay)
kompas.com
No comments:
Post a Comment