Abstract :
Street hawkers are one of informal business forms in the area of Malioboro, Yogyakarta. This research addresses the operation and the capital management of those street hawkers. It also identifies the impact of the economics crisis on their existence their business in terms of those two aspects Furthermore, this research also discusses the efforts of some organizations or parties to empower these street hawkwers with regard to the economic crisis. The research involved 200 street hawkers in Malioboro area and used interview to fill out the questionnaire. The method of data analysis include percentage, chi-square, t-test, and descriptive analysis. The result of this research shows that the impact of economic crisis on management and capital aspects does not significantly influence the business of the street hawkers. These phenomena prove that the street hawkers are able to survive, even under the crisi condition.. The empowerment efforts for street hawkers in Malioboro are not effective due to the lack of attention of the designated organizations and parties.
Pendahuluan
Dualisme kota dan desa yang terdapat di Indonesia, seperti negara-negara berkembang lainnya telah mengakibatkan munculnya sektor formal dan sektor informal dalam kegiatan perekonomian. Urbanisasi sebagai gejala yang sangat menonjol di Indonesia, tidak hanya mendatangkan hal-hal positif, tetapi juga hal-hal negatif. Sebagian para urbanit telah tertampung di sektor formal, namun sebagian urbanit lainnya -tanpa bekal ketrampilan yang dibutuhkan di kota tidak dapat tertampung dalam lapangan kerja formal yang tersedia. Para urbanit yang tidak tertampung di sektor formal pada umumnya tetap berstatus mencari pekerjaan dan melakukan pekerjaan apa saja untuk menopang hidupnya.
Sektor informal muncul dalam kegiatan perdagangan yang bersifat kompleks oleh karena menyangkut jenis barang, tata ruang, dan waktu. Berkebalikan dengan sektor formal yang umumnya menggunakan teknologi maju, bersifat padat modal, dan mendapat perlindungan pemerintah, sektor informal lebih banyak ditangani oleh masyarakat golongan bawah. Sektor informal dikenal juga dengan 'ekonomi bawah tanah' (underground economy). Sektor ini diartikan sebagai unit-unit usaha yang tidak atau sedikit sekali menerima proteksi ekonomi secara resmi dari pemerintah (Hidayat, 1978). Sektor informal ini umumnya berupa usaha berskala kecil, dengan modal, ruang lingkup, dan pengembangan yang terbatas.
Sektor informal sering dijadikan kambing hitam dari penyebab 'kesemrawutan lalu lintas' maupun 'tidak bersihnya lingkungan'. Meskipun demikian sektor informal sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih mampu bertahan hidup 'survive' dibandingkan sektor usaha yang lain. Hal tersebut dapat terjadi karena sektor informal relatif lebih independent atau tidak tergantung pada pihak lain, khususnya menyangkut permodalan dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan usahanya.
Dalam situasi krisis ekonomi dewasa ini, setiap usaha di sektor informal dituntut memiliki daya adaptasi yang tinggi secara cepat dan usaha antisipasi perkembangan dalam lingkungan usaha agar usaha di sektor informal tersebut dapat bertahan dalam keadaan yang sulit sekalipun. Di balik era perubahan yang terus-menerus terjadi, tentunya ada peluang usaha yang dapat dimanfaatkan secara lebih optimal. Dalam hal ini usaha di sektor informal diharapkan mampu mengidentifikasi peluang yang muncul akibat adanya perubahan tersebut.
Pedagang kaki lima (street trading/street hawker) adalah salah satu usaha dalam perdagangan dan salah satu wujud sektor informal. Pedagang kaki lima adalah orang yang dengan modal yang relatif sedikit berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal (Winardi dalam Haryono, 1989).
Pedagang kaki lima pada umumnya adalah self-employed, artinya mayoritas pedagang kaki lima hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Modal yang dimiliki relatif tidak terlalu besar, dan terbagi atas modal tetap, berupa peralatan, dan modal kerja. Dana tersebut jarang sekali dipenuhi dari lembaga keuangan resmi, biasanya berasal dari sumber dana ilegal atau dari supplier yang memasok barang dagangan. Sedangkan sumber dana yang berasal dari tabungan sendiri sangat sedikit. Ini berarti hanya sedikit dari mereka yang dapat menyisihkan hasil usahanya, dikarenakan rendahnya tingkat keuntungan dan cara pengelolaan uang. Sehingga kemungkinan untuk mengadakan investasi modal maupun ekspansi usaha sangat kecil (Hidayat, 1978).
Mereka yang masuk dalam kategori pedagang kaki lima ini mayoritas berada dalam usia kerja utama (prime-age) (Soemadi, 1993). Tingkat pendidikan yang rendah dan tidak adanya keahlian tertentu menyebabkan mereka sulit menembus sektor formal. Bidang informal berupa pedagang kaki lima menjadi satu-satunya pilihan untuk tetap mempertahankan hidup. Walaupun upah yang diterima dari usaha pedagang kaki lima ini di bawah tingkat minimum, tapi masih jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan mereka di tempat asalnya.
Lokasi pedagang kaki lima sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kelangsungan usaha para pedagang kaki lima, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pula volume penjualan dan tingkat keuntungan. Secara garis besar kesulitan yang dihadapi oleh para pedagang kaki lima berkisar antara peraturan pemerintah mengenai penataan pedagang kaki lima belum bersifat membangun/konstruktif, kekurangan modal, kekurangan fasilitas pemasaran, dan belum adanya bantuan kredit (Hidayat,1978).
Dalam praktek, pedagang kaki lima sering menawarkan barang-barang dan jasa dengan harga bersaing atau bahkan relatif tinggi, bahkan terkesan menjurus ke arah penipuan. Hal ini tentu saja menimbulkan citra yang negatif tentang pedagang kaki lima. Adanya tawar-menawar (bargaining) antara penjual dan pembeli inilah yang menjadikan situasi unik dalam usaha pedagang kaki lima. Pada umumnya pedagang kaki lima kurang memperhatikan masalah lingkungan dan faktor hygiene sebagai produk sampingan yang negatif. Masalah lingkungan berkaitan erat dengan kepadatan, misalnya kepadatan lalu lintas maupun kepadatan tempat.
Bertitik tolak dari uraian di atas, penelitian ini mencoba meneliti hal-hal yang berhubungan dengan aspek manajemen dan aspek pengelolaan modal pada pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro sebagai salah satu bentuk usaha sektor informal. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (1) Bagaimana manajemen usaha yang dilakukan oleh pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro ? (2) Bagaimana pengelolaan modal yang dilakukan oleh pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro ? (3) Bagaimana dampak krisis ekonomi terhadap manajemen usaha dan pengelolaan modal yang dilakukan oleh pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro ? (4) Bagaimana usaha pemberdayaan pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro oleh pihak-pihak terkait?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen usaha dan pengelolaan modal yang dilakukan oleh pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro, Selanjutnya penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dampak krisis ekonomi terhadap keberadaan pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro dalam manajemen usaha dan pengelolaan modalnya, serta untuk mengetahui usaha pemberdayaan bagi pedagang kaki lima oleh organisasi atau pihak terkait sebagai bentuk perhatian dan pemecahan masalah terhadap kondisi krisis ekonomi saat ini.
Metode penelitian
Dalam penelitian ini terdapat 4 variabel utama yang akan diteliti, yaitu (1) manajemen usaha pedagang kaki lima, (2) pengelolaan modal pedagang kaki lima, dan (3) dampak krisis ekonomi terhadap manajemen usaha dan pengelolaan modal pedagang kaki lima, serta (4) usaha pemberdayaan pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro oleh pihak-pihak terkait.
Penelitian survei ini menggunakan kuesioner yang diisi melalui wawancara oleh 10 tenaga enumerator dan ditanyakan kepada 200 pedagang kaki lima yang berdagang di Kawasan Malioboro sebagai responden penelitian. Metode analisis data yang digunakan adalah metode persentase, pengujian perbedaan dengan metode chi-square dan uji-t untuk melihat ada atau tidaknya dampak krisis ekonomi terhadap manajemen usaha dan pengelolaan modal usaha ditinjau dari berbagai aspek.
Hasil penelitian
Kawasan Malioboro dihuni oleh berbagai macam pedagang kaki lima, antara lain : pedagang kaki lima yang berjualan dari pagi sampai malam hari yang berjualan bermacam-macam barang dagangan dan menghadap pertokoan - umumnya mereka anggota Koperasi Tri Dharma; pedagang kaki lima yang berjualan malam sampai pagi hari atau dikenal sebagai pedagang makanan lesehan - umumnya mereka juga merupakan anggota Koperasi Tri Dharma; pedagang kaki lima yang membuat atau menjual barang-barang kerajinan yang biasanya membelakangi pertokoan yang tergabung dalam Paguyuban Pemalni; dan pedagang kaki lima liar yaitu pedagang kaki lima yang tidak menjadi anggota Koperasi Tri Dharma maupun Paguyuban Pemalni yang berjualan di Kawasan Malioboro.
Profil Responden
Responden penelitian ditinjau dari aspek demografisnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Profil Responden
ASPEK-ASPEK DEMOGRAFIS FREKUENSI (PERSENTASE) ASPEK-ASPEK DEMOGRAFIS FREKUENSI (PERSENTASE)
Umur
Kurang dari 20 tahun 11 (5,5%)
21 - 30 tahun 69 (34,5%)
31 - 40 tahun 55 (27,5%)
41 - 50 tahun 44 (22,0%)
51 - 60 tahun 16 (8,0%)
Lebih dari 61 tahun 5 (2,5%)
Pendidikan Formal
Tidak Sekolah 8 (4,0%)
Tidak Lulus SD 8 (4,0%)
Lulus SD 45 (22,5%)
Lulus SLTP 62 (31,0%)
Lulus SMU 68 (34,0%)
Lulus PT 9 (4,5%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 133 (66,5%)
Perempuan 67 (33,5%)
Status Kartu Tanda Penduduk
Penduduk DIY 178 (89,0%)
Penduduk Luar DIY 22 (11,0%)
Status Perkawinan
Belum kawin 58 (29,0%)
Kawin 141 (70,5%)
Bercerai mati 1 (0,5%)
Sumber : Data Primer (1999)
Sebagian besar responden berumur antara 21 sampai 30 tahun (34,5%) dan terdiri dari 33,5% laki-laki dan 66,5% perempuan yang tergolong angkatan kerja produktif. Mayoritas berumah tangga atau kawin (70,5%), berstatus KTP sebagai penduduk DIY (89,0%), berpendidikan formal lulus SMU (34,0%), lulus SLTP (31,0%), lulus SD (22,5%), dan lulus PT (4,5%), sisanya 8,0% tidak lulus SD dan 8,0% tidak sekolah. Pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro secara umum cukup berpendidikan (terbukti mayoritas telah lulus SLTP ke atas), namun karena persaingan mencari kerja yang begitu ketat dan kurangnya ketrampilan untuk memasuki dunia kerja di sektor formal, maka pilihan menjadi pedagang kaki lima menjadi salah satu alternatif pekerjaan.
Manajemen Usaha dan Pengelolaan Modal Pedagang Kaki Lima Malioboro
Manajemen usaha pedagang kaki lima mencakup asal barang dagangan, penentu harga barang dagangan, kelayakan harga barang dagangan, sikap terhadap pembeli, pengelolaan hasil usaha, waktu berjualan sekarang. Sedangkan pengelolaan modal usaha pedagang kaki lima mencakup sumber modal usaha, asal modal usaha, jumlah modal usaha awal, taksiran nilai barang dagangan dan peralatan, pendapatan bersih rata-rata per bulan, banyaknya kebutuhan dari penggunaan pendapatan bersih rata-rata per bulan, dan hambatan pengelolaan modal usaha.
Asal barang dagangan yang diperdagangkan oleh pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro sebagian besar membeli dari orang lain dan adanya pemasok tetap. Harga barang dagangan sebagian besar ditentukan oleh penjual, berarti penjual masih mempunyai 'kekuatan' dalam manajemen usahanya, khususnya menyangkut penentuan harga jual. Namun demikian penentu harga barang dagangan berikutnya adalah penjual dan pembeli. Dalam hal ini harga ditentukan melalui proses tawar-menawar di antara kedua belah pihak, sampai tercapai harga keseimbangan (equilibrium) yang disepakati keduanya. Tawar-menawar di antara penjual dan pembeli merupakan ciri relasi yang khas dalam usaha perdagangan para pedagang kaki lima.
Harga barang dagangan yang berlaku saat ini masih dianggap layak. Kelayakan harga jual barang dagangan ini menjadi faktor penting bagi pedagang kaki lima untuk tetap bertahan dalam pekerjaan tersebut. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan harga yang diberikan kepada pembeli terlalu tinggi, sehingga terkesan menipu pembeli.
Sikap pedagang kaki lima terhadap pembeli cukup bervariasi. Sebagian pedagang kaki berusaha untuk menarik pembeli, namun sebagian lainnya bersikap terserah kepada calon pembeli dalam arti tidak memaksa calon pembeli.
Hasil usaha pada umumnya dikelola sendiri (self-employed), cukup dengan satu orang tenaga kerja, artinya pedagang kaki lima cenderung tidak tergantung pada bantuan pihak lain. Kemandirian pedagang kaki lima ini sebenarnya salah satu ciri sektor informal di perkotaan. Hanya sebagian kecil hasil usaha yang dikelola bersama orang lain. Bukti di lapangan ini menunjukkan pedagang kaki lima menunjukkan sifat-sifat khas "one-man enterprise" dan "family enterprise".
Pada umumnya waktu berjualan pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro antara 6 sampai 12 jam setiap harinya. Mayoritas pedagang kaki lima berjualan selama 12 jam atau setengah hari kerja karena waktu tersebut telah dianggap cukup untuk berusaha di sektor informal ini. Namun tidak tertutup kemungkinan apabila sebagian pedagang kaki lima mempunyai pekerjaan sampingan, meskipun jumlah pedagang kaki lima jenis ini tidak banyak.
Sebagian besar pedagang kaki lima menggunakan modal sendiri sebagai modal usahanya, sehingga dapat dikatakan dalam melakukan usahanya pedagang kaki lima tidak membutuhkan modal yang relatif besar dan tidak perlu meminta bantuan orang/pihak lain. Mayoritas pedagang kaki lima juga menyatakan modal usaha yang digunakan berasal dari tabungan sendiri, berarti pedagang kaki lima mengandalkan kemampuan sendiri dalam memulai usahanya.
Mayoritas jumlah modal usaha awal yang digunakan pedagang kaki lima lebih dari Rp 500.000,00 dan sisanya bervariasi sesuai dengan jenis barang dagangan yang dijual. Pada umumnya pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro menggunakan modal usaha awal yang relatif cukup besar atau di atas Rp 500.000,00.
Sebagian besar pedagang kaki lima menyatakan taksiran nilai barang dagangan dan peralatan (aset usaha yang dimiliki) mencapai lebih dari Rp 500.00,00. Fenomena ini sejalan dengan penjelasan di atas bahwa modal usaha awal pedagang kaki lima relatif cukup besar, sehingga wajarlah apabila taksiran nilai barang dagangan dan peralatan yang dimiliki tinggi.
Sebagian besar pedagang kaki lima mendapatkan pendapatan bersih rata-rata yang cukup tinggi yaitu mencapai lebih dari Rp 300.000,00, sehingga dapat dimengerti apabila sebagian besar pedagang kaki lima cukup kerasan bekerja di sektor informal ini . Ada berbagai macam kebutuhan yang dapat dipenuhi dari penggunaan pendapatan bersih rata-rata per bulan antara lain kebutuhan untuk konsumsi harian, menambah modal usaha, biaya produksi, menabung, biaya pendidikan, dan membayar hutang. Mayoritas pedagang kaki lima menggunakan pendapatan bersih rata-rata per bulan untuk memenuhi 3 macam kebutuhan dari beberapa kebutuhan hidup pedagang kaki lima.
Sebagian besar pedagang kaki lima tidak mengalami hambatan dalam pengelolaan modal usahanya, sebagian lainnya mempunyai berbagai hambatan pengelolaan, seperti modal tidak mencukupi, kurang menguasai pengelolaan modal, dan sulitnya mencari pinjaman. Ketidakmampuan pedagang kaki lima dalam pengelolaan modal menyebabkan kurangnya kepercayaan pihak lain seperti tercermin dalam kesulitan mencari pinjaman modal usaha.
Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Manajemen Usaha dan Pengelolaan ModalTemuan menarik di lapangan menunjukkan pedagang kaki lima tidak terlalu mempermasalahkan kondisi krisis ekonomi. Terbukti dalam tabel 2 berikut ini tampak pedagang kaki lima tetap bekerja dengan waktu berjualan yang tidak berubah (88,0%), sedangkan pendapatan bersih rata-rata per bulan yang diperoleh juga tidak mengalami perubahan (66,5%). Tidak berubahnya pendapatan bersih rata-rata per bulan dapat terjadi karena pengaruh inflasi yang menandai adanya krisis ekonomi yaitu peningkatan penjualan yang diimbangi peningkatan biaya yang dikeluarkan pedagang kaki lima untuk menghasilkan barang dagangan.
Tabel 2
Perubahan Waktu Berjualan Pendapatan Bersih
Tidak berubah 176 (88,0%) 133 (66,5%)
Lebih sedikit 21 (10,5%) 58 (29,0%)
Lebih banyak 3 (1,5%) 9 (4,5%)
TOTAL 200 (100%) 200 (100%)
Perubahan Taksiran Nilai Barang Dagangan
Tidak berubah 161 (80,5%)
Lebih murah 5 (2,5%)
Lebih mahal 34 (17,0%)
TOTAL 200 (100%)
Sumber : Data Diolah (1999)
Sementara itu taksiran nilai barang dagangan dan peralatan juga tidak mengalami perubahan (80,5%). Hal tersebut dapat terjadi karena pengaruh inflasi atau kenaikan harga bahan dagangan dan peralatan memberikan dampak kenaikan taksiran nilai barang dagangan dan peralatan. Tidak berubahnya taksiran barang dagangan dan peralatan yang dimiliki merupakan efek psikologis dari inflasi yang menandai adanya krisis ekonomi tersebut.
Beberapa macam kebutuhan yang dapat dipenuhi pedagang kaki lima dari penggunaan pendapatan bersih rata-rata per bulan antara lain konsumsi harian, modal usaha, biaya produksi, tabungan, biaya pendidikan, dan pembayaran hutang. Untuk pemenuhan kebutuhan tersebut mayoritas pedagang kaki lima menyatakan tidak mengalami perubahan. Namun demikian pada tabel 3 terlihat ada 28 orang atau 14% responden yang menyatakan tabungan yang dimiliki lebih sedikit dibandingkan masa sebelum terjadi krisis ekonomi.
Tabel 3
Perubahan Kebutuhan Dari Penggunaan
Pendapatan Bersih Rata-Rata Per Bulan
PERUBAHAN KONSUMSI HARIAN MODAL USAHA BIAYA PRODUKSI
Tidak berubah 157 (78,5%) 178 (89,0%) 198 (99,0%)
Lebih sedikit 6 (3,0%) 6 (3,0%) 1 (0,5%)
Lebih banyak 37 (18,5%) 16 (8,0%) 1 (0,5%)
TOTAL 200 (100%) 200 (100%) 200 (100%) 200 (100%) 200 (100%) 200 (100%)
PERUBAHAN TABUNGAN BIAYA PENDIDIKAN PEMBAYAR HUTANG
Tidak berubah 167 (83,5%) 179 (89,5%) 182 (91,0%)
Lebih sedikit 28 (14,0%) 3 (1,5%) 12 (6,0%)
Lebih banyak 5 (2,5%) 18 (9,0%) 6 (3,0%)
TOTAL 200 (100%) 200 (100%) 200 (100%)Sumber : Data Diolah (1999)
Bukti-bukti di atas menggambarkan pekerjaan sebagai pedagang kaki lima merupakan salah satu pekerjaan yang relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi karena dampak krisis ekonomi tidak secara nyata dirasakan oleh pedagang kaki lima. Dalam hal ini pedagang kaki lima mampu bertahan hidup dalam berbagai kondisi, sekalipun kondisi krisis ekonomi.
Dalam kondisi krisis ekonomi mayoritas produksi yang dihasilkan oleh pedagang kaki lima mengalami penurunan. Hal tersebut terjadi sebagai konsekuensi logis dari inflasi yang menyebabkan harga bahan baku barang dagangan meningkat, seiring dengan penurunan permintaan dari pembeli. Sebagai akibatnya pedagang kaki lima dengan kesadarannya sendiri berusaha mengurangi jumlah produksi barang dagangannya agar tidak terjadi kelebihan stok dan barang dagangan dapat terjual semua. Secara umum produksi yang tidak mengalami perubahan terjadi pada pedagang kaki lima yang menjual pakaian dan barang kelontong, serta majalah dan lainnya. Produksi yang mengalami peningkatan adalah pedagang mainan, makanan dan kelontong, sebaliknya produksi yang mengalami penurunan adalah pedagang makanan/minuman dan barang kelontong.
Hasil pengujian statistik chi-square menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara keberadaan pedagang kaki lima dalam krisis ekonomi menurut jumlah tanggungan kepala keluarga, status pekerjaan, alasan menjadi pedagang kaki lima, sikap pedagang kaki lima, dan pengelolaan hasil usaha.
Sebagian besar responden memilih pekerjaan pedagang kaki lima sebagai pekerjaan pokok bukan disebabkan krisis ekonomi, karena responden telah menjalani pekerjaan pedagang kaki lima dalam waktu yang cukup lama dan telah begitu mencintai pekerjaan tersebut. Pekerjaan sebagai pedagang kaki lima benar-benar menjadi pilihan dari pedagang kaki lima itu sendiri, bukan karena paksaan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Alasan sebagian besar pedagang kaki lima menjalankan usaha di Kawasan Malioboro karena tidak ada pekerjaan yang sesuai, usaha turun-temurun dari keluarga, serta adanya kemauan sendiri jauh sebelum krisis ekonomi terjadi. Sementara sebagian kecil pedagang kaki lima yang diajak orang lain menyatakan pekerjaan tersebut diambil karena tuntutan keadaan di masa krisis ekonomi. Fenomena ini secara tidak langsung menunjukkan pengaruh lingkungan eksternal di luar diri seseorang, terutama kondisi krisis ekonomi mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam penentuan jenis pekerjaan yang dimasuki. Hasil pengujian statistik chi-square juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara keberadaan pedagang kaki lima dalam krisis ekonomi menurut alasan bekerja sebagai pedagang kaki lima.
Sikap pedagang kaki lima yang biasa menyerahkan keputusan harga kepada calon pembeli dan di saat lain berusaha menarik pembeli telah menjadi pedagang kaki lima bukan karena krisis ekonomi, artinya pedagang kaki lima telah mampu mensikapi calon pembeli sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi. Sementara itu sebagian kecil pedagang kaki lima yang berusaha menarik pembeli menyatakan sikap itu diambil agar dapat meningkatkan omzet penjualannya di masa krisis ekonomi ini.
Pengelolaan usaha pedagang kaki lima yang dibantu orang lain, dikelola sendiri, dan bersama orang lain telah menjadi pedagang kaki lima bukan karena krisis ekonomi. Fenomena ini menunjukkan pedagang kaki lima yang diajak orang lain untuk berusaha di bidang ini cenderung mengelola usahanya bersama orang lain juga. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko dalam manajemen usaha dan pengelolaan modal yang mungkin harus ditanggung oleh pedagang kaki lima.
Berkaitan dengan kepemilikan tabungan baik tabungan uang, tabungan bukan uang, maupun tabungan di bank oleh pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro menunjukkan adanya krisis ekonomi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan persentase pedagang kaki lima yang mempunyai tabungan uang, tabungan bukan uang, dan tabungan bank'. Tabel 4 berikut ini menunjukkan 89,9% pedagang kaki lima yang sebelum krisis ekonomi mempunyai tabungan uang, setelah terjadi krisis ekonomi tetap mempunyai tabungan uang, sedangkan 16,3% pedagang kaki lima yang sebelum krisis ekonomi tidak mempunyai tabungan uang, setelah terjadi krisis ekonomi dapat mempunyai tabungan uang, dan sisanya (83,7%) tetap tidak mempunyai tabungan uang. Hal ini juga berlaku untuk kepemilikan tabungan bukan uang maupun tabungan bank.
Tabel 4
Kepemilikan Tabungan Uang, Tabungan Bukan Uang, Tabungan Bank
TABUNGAN SEKARANG UANG BUKAN UANG BANK
TABUNGAN DULU Punya/Tidak Punya/Tidak Punya/Tidak
PUNYA 141(89,8%)/16(10,2%) 44(86,3%)/7(13,7%)129(94,2%)/8(5,8%)
TIDAK 7(16,3%)/36(83,7%) 4(2,7%)/145(97,3%) 3(4,8%)/60(95,2%)
TOTAL 148 (74%)/52(26%) 48 (24%)/152(76%) 132(66%)/68(34%)
Sumber : Data Diolah (1999)
Pengolahan data menggunakan uji t untuk dua sampel berpasangan (paired) dihasilkan nilai probabilitas tabungan uang sebesar 0,060, tabungan bukan uang sebesar 0,367, dan tabungan bank sebesar 0,132, yang menandakan nilai probabilitas > 0,05, sehingga rata-rata tabungan uang, tabungan bukan uang, dan tabungan bank milik pedagang kaki lima sebelum krisis ekonomi dan sekarang tidak berbeda secara signifikan.
Upaya Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
Pemerintah Daerah Kotamadya Yogyakarta menyerahkan sepenuhnya pengelolaan Malioboro kepada pedagang kaki lima dan masyarakat karena posisi pemerintah di masa mendatang harus berpihak kepada masyarakat ("Pengelolaan Malioboro Diserahkan ke PKL", Harian Bernas, 4 November 1999, hal.3). Hal tersebut menunjukkan pelaksanaan usahanya pedagang kaki lima menggunakan konsep 'dari PKL, oleh PKL, dan untuk PKL' yang tampak dalam pembentukan organisasi pedagang kaki lima yang bersifat bottom up untuk mengorganisir pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro.
Keberadaan organisasi pedagang kaki lima sangat diperlukan di Kawasan Malioboro mengingat luasnya areal usaha dan banyaknya pedagang yang mencari penghidupan di kawasan tersebut. Selain itu organisasi diperlukan untuk ikut menciptakan ketertiban dan keamanan di Kawasan Malioboro yang telah begitu dikenal sampai ke mancanegara, sehingga citra positif tentang Kawasan Malioboro harus selalu dipertahankan.
Perkembangan pesat usaha pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro dapat meningkatkan kemakmuran pedagang kaki lima itu sendiri, namun dapat juga menimbulkan efek samping yang sering merusak citra Kawasan Malioboro. Harian Bernas (26 Januari 2000, hal. 3) mencatat munculnya pedagang kaki lima yang memenuhi Malioboro dengan meletakkan gerobak dagangan di jalan sampai mengganggu kelancaran lalu lintas, juga banyaknya wisatawan yang mengeluh saat makan di lesehan karena dikenai harga tinggi. Perilaku pedagang kaki lima liar yang tidak menjadi anggota satu organisasi pun di Kawasan Malioboro dan tidak mempunyai kapling tempat, mau tidak mau berimbas kepada anggota-anggota organisasi pedagang kaki lima dan dapat merugikan usaha pedagang kaki lima yang resmi menjadi penghuni kawasan tersebut.
Berikut ini sekelumit peristiwa yang dikutip dari Surat Pembaca Harian Kedaulatan Rakyat (30 Desember 1999, hal. 4) tentang perilaku yang tidak semestinya terjadi di Kawasan Malioboro ini.
....Kami bertiga (mahasiswa tugas belajar dari luar kota) suatu siang sebelum bulan puasa jajan es campur di pedagang kaki lima (PKL) di Malioboro. Setelah selesai saya kaget dengan harga yang harus saya bayar, yaitu Rp 21.000,00 untuk 3 mangkok kecil es campur. Pada saat yang bersamaan seorang bapak bersitegang dengan penjual tersebut, setelah saya tanya ia harus membayar Rp 10.000,00 untuk semangkuk bakso. Setelah kejadian itu saya bercerita pada teman-teman di kampus. Ternyata hal yang sama dialami 2 orang teman dari NTT. Dia harus membayar Rp 80.000,00 untuk 2 piring nasi gudeg + 2 gelas teh panas di warung lesehan di Malioboro !!!! Suatu harga yang fantastis ....Citra positif Kawasan Malioboro harus dipertahankan sebagai salah satu ciri kota Yogyakarta. Oleh karena itu diperlukan kesamaan gerak dan langkah pedagang kaki lima melalui keberadaan organisasi-organisasi pedagang kaki lima. Pemberdayaan melalui organisasi pedagang kaki lima perlu diupayakan.
Temuan menarik di lapangan menunjukkan perhatian organisasi pedagang kaki lima kepada anggota cukup besar, namun demikian perhatian yang diberikan belum optimal karena masih sebatas mengorganisir dan mengatur keberadaan pedagang kaki lima dan dalam kondisi krisis ekonomi ini organisasi kurang mampu melakukan pemberdayaan (empowerment) pedagang kaki lima. Berbagai kinerja yang dihasilkan pedagang kaki lima pada saat krisis ekonomi menunjukkan tidak ada kaitan yang jelas antara upaya organisasi pedagang kaki lima dengan perubahan kinerja usaha. Bagaimanapun organisasi pedagang kaki lima belum mampu membantu pedagang kaki lima dalam mengatasi krisis ekonomi yang terjadi dan keadaan ini sebenarnya menjadi tantangan yang masih harus diperhatikan oleh pihak-pihak terkait.
Secara umum pedagang kaki lima tidak begitu mempermasalahkan ada atau tidak ada upaya pemberdayaan pedagang kaki lima dalam menghadapi krisis ekonomi, seperti dinyatakan oleh 76,9% anggota Koperasi Tridharma dan 83,6% anggota Pemalni. Hal itu terjadi karena mayoritas pendidikan pedagang kaki lima cukup tinggi (sekurang-kurangnya lulusan SLTP ke atas), sehingga pedagang kaki lima tidak terlalu mengambil pusing apakah organisasi membantu anggotanya untuk mengatasi krisis ekonomi atau tidak.
Penutup
Penelitian ini membuktikan dampak krisis ekonomi terhadap manajemen usaha dan pengelolaan modal tidak berpengaruh secara nyata terhadap usaha pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro, sebagaimana terbukti tidak ada perubahan terhadap waktu berjualan (88%), taksiran nilai barang dagangan dan peralatan (80,5%), pendapatan bersih rata-rata per bulan (66,5%), bahkan tidak ada perubahan pemenuhan kebutuhan dari pendapatan bersih rata-rata per bulan. Fenomena ini menunjukkan pedagang kaki lima mampu bertahan hidup dalam kondisi krisis ekonomi sekalipun. Adanya krisis ekonomi juga tidak memberikan pengaruh nyata pada peningkatan kemampuan menabung pedagang kaki lima, baik berupa tabungan uang, tabungan bukan uang, maupun tabungan bank.
Upaya pemberdayaan pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro pada masa krisis ekonomi kurang mampu dilakukan, sehingga keterlibatan pihak-pihak terkait diperlukan dalam mengantisipasi dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan manajemen usaha dan pengelolaan modal, seperti strategi penetapan harga barang dagangan, strategi menjual produk, dan kiat-kiat pendanaan usaha. Akses ke lembaga-lembaga keuangan dapat pula diupayakan untuk membantu pedagang kaki lima yang mengalami kesulitan permodalan usaha, atau mencari terobosan-terobosan baru untuk mendapatkan sumber pendanaan untuk mengembangkan usaha, seperti dana Jaringan Pengaman Sosial (JPS). Pada akhirnya diperlukan pendekatan yang lebih manusiawi dalam mengatur keberadaan pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro, mengingat pekerjaan pedagang kaki lima dapat menjadi safety belt karena kemampuannya dalam penyediaan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor formal.
Nama & E-mail (Penulis): Th. Agung M. Harsiwi
No comments:
Post a Comment