Loyalitas pelanggan (customer loyalty) tidak disangkal lagi telah menjadi salah satu idola
pimpinan perusahaan, bahkan menjadi tujuan strategis yang paling penting dari
perusahaan kurun waktu belakangan ini. Namun, masih banyak mitos yang melingkupinya.
Setiap tahun miliaran dollar AS dikucurkan oleh berbagai perusahaan hanya untuk mengejar aspek loyalitas pelanggan. Bayangkan saja daya pikat dari loyalitas ini memang
luarbiasa. Apabila kita menggunakan quick search di amazon.com, misalnya, untuk kata
loyalty akan ditemukan lebih kurang 40.000 buku yang secara khusus membahas tentang
topik ini, lengkap dengan berbagai cara dan metode untuk meningkatkan kesetiaan dari
konsumen. Tidak terhitung pula artikel yang ditulis mengenai loyalitas pelanggan sebagai
solusi dari peningkatan profit yang didambakan oleh begitu banyak CEO.
Dalam sebuah penelitian terhadap para CEO yang dilakukan Conference Board tahun
2002, ditemukan bahwa loyalitas pelanggan dan retensi konsumen diyakini sebagai
tantangan sangat penting dihadapi melebihi hal-hal yang berkaitan dengan pengurangan
biaya, peningkatan nilai saham, ataupun pengembangan organisasi.
Antusiasme manajemen yang begitu besar terhadap loyalitas ini kemudian
ditransformasikan ke dalam cara bagaimana organisasi secara internal dan eksternal
mengelola bisnisnya dan berinteraksi dengan pelanggannya. Paling sedikit ada empat
inisiatif yang diinfiltrasi ke dalam praktik manajemen. Pertama adalah pemanfaatan
database sebagai sarana untuk berinteraksi dengan pelanggan. Kedua, mengadopsi sistem
Customer Relationship Management (CRM) dalam skala besar. Ketiga, melakukan program
loyalitas pelanggan. Keempat, menciptakan dan memanfaatkan call center. Keempat
prakarsa ini mendominasi infrastruktur dari implementasi loyalitas pelanggan dan menyedot
capital expenditure dalam jumlah signifikan.
Persoalannya, apakah perusahaan yang sudah menunjukkan komitmen terhadap keempat
prakarsa ini benar-benar terpenuhi harapannya? Ternyata tidak. Bahkan, banyak juga
implementasi tidak terarah. Kalaupun ada organisasi yang mendapatkan manfaat dari
investasi terhadap konsep ini, itu bisa dikatakan suatu pengecualian. Kenyataan, banyak
dari investasi yang dikucurkan berbagai perusahaan untuk mengejar loyalitas pelanggan
didasarkan pada asumsi yang keliru dan temuan-temuan yang patut disangsikan
keabsahannya.
Memang, tidak berarti bahwa loyalitas pelanggan sudah mati, seperti yang dikatakan oleh
Frederick Reichheld, Director Emeritus Bain & Company Consultant dalam bukunya The
Loyalty Effect. Namun, problema utama yang saat ini dihadapi oleh dunia bisnis tentang
loyalitas pelanggan sesungguhnya keliru dan salah kaprah. Kesimpulan demikian muncul dari para penulis buku ini yang berasal dari Ipsos, salah satu perusahaan konsultan riset
bisnis terkemuka, antara lain Terry G Vavra (terkenal dengan bukunya Aftermarketing)
maupun Tim Keiningham (co-author dari buku inspirasional The Principles of Customer
Delight).
Dipaparkan, ada sejumlah mitos loyalitas pelanggan yang diterima begitu saja
kebenarannya, tidak hanya oleh para profesional bisnis, tetapi juga oleh kalangan
akademisi. Misalnya, ada anggapan bila perusahaan mempunyai semakin banyak
pelanggan yang setia, maka akan selalu diikuti dengan pangsa pasar yang besar.
Kenyataan justru sebaliknya, perusahaan yang mempunyai tingkat kesetiaan konsumen
tinggi justru mempunyai pangsa pasar kecil, bahkan cenderung eksklusif. Harley Davidson
merupakan contoh. Sejumlah penelitian memperlihatkan hubungan yang negatif antara
pangsa pasar dan tingkat kesetiaan konsumen dalam pasar yang heterogen.
Anggapan lain bahwa dibutuhkan biaya lima kali lipat lebih besar untuk mengakuisisi
konsumen baru ketimbang mempertahankannya (retention). Mitos ini begitu meresap sekali
dan secara intuitif diterima begitu saja kebenarannya selama lebih dari 20 tahun.
Kenyataan tidaklah demikian, dan di balik mitos ini terkandung asumsi yang keliru.
Pertama, argumen yang salah tentang bagaimana alokasi biaya antara akuisisi dan retensi,
seakan-akan biaya yang terkait dengan konsumen yang baru selalu akan naik, sebaliknya
bagi pelanggan lama akan selalu meningkatkan pengeluarannya seiring dengan lamanya
waktu. Asumsi kedua, argumen yang mengabaikan teori siklus hidup produk dan ketiga
mitos ini mengabaikan kenyataan bahwa pada dasarnya basis konsumen dari setiap
perusahaan terdiri dari sejumlah kombinasi konsumen yang berbeda-beda, baik biaya
akuisisi maupun retensinya. Akibatnya, sekalipun mitos ini sepintas masuk akal, realitanya
ternyata jauh lebih kompleks, dan perlu hati-hati disikapi bila tidak ingin kecewa.
Mitos lain bahwa konsumen yang setia biasanya kurang sensitif terhadap harga. Ternyata,
menurut sejumlah penelitian, antara lain yang dilakukan oleh Reinartz dan Kumar tidak
ditemukan bahwa konsumen yang setia akan rela untuk membayar harga yang tinggi dari
pemasok yang telah dikenalnya. Bahkan dalam suatu penelitian di pasar bisnis, terungkap
bahwa pelanggan lama justru membayar 5 sampai 7 persen lebih murah daripada
konsumen baru. Dengan kata lain, pelanggan lama lebih sering membayar lebih murah dan
tidak mau membayar harga yang lebih mahal.
Salah satu lagi mitos yang juga populer anggapan bahwa karyawan yang puas akan
menciptakan pelanggan yang bahagia. Perspektif ini pertama kali muncul di majalah
bergengsi Harvard Business Review dan digagas oleh sejumlah profesor terkemuka seperti
James Hesskett. Dalam artikelnya yang sangat berpengaruh ketika itu ”Putting the Service
profit Chain to Work” mereka memopulerkan konsep ”satisfaction mirror”, yaitu karyawan
yang puas akan berakibat pada kepuasan konsumen dan selanjutnya memberikan hasil
bisnis yang positif. Ternyata ini pun tidak seluruhnya benar, sejumlah penelitian yang ada
menemukan bahwa kepuasan karyawan tidak bisa secara universal atau serta-merta
menciptakan kesetiaan konsumen. Namun, ketiadaan kaitan yang positif antara tingkat
kepuasan karyawan dan kesetiaan konsumen tidak berarti dengan begitu saja tidak
memperlakukan karyawan seperti yang seharusnya, karena seperti yang dikatakan oleh
Ray Kordupleski, Customer Satisfaction Director AT & T, ”I have found that no one
(employee) in any organization can totally satisfy a customer. But any one (employee) can
totally dissatisfy a customer.”
Seperti yang pernah dikatakan kritikus sosial abad ke-19 Alexis de Tocqueville: ”the public
will believe a simple lie rather than a complex truth” buku ini pun bermaksud untuk
meluruskan pemahaman yang keliru tentang berbagai gagasan yang selama ini diyakini
dan diadopsi oleh para profesional bisnis maupun khalayak akademisi tentang konsep
bisnis seputar loyalitas pelanggan. Para penulis buku ini mengupas dengan tajam dan kritis
53 mitos yang selama ini seakan-akan diterima begitu saja sebagai sebuah kebenaran—
dan membongkar berbagai kepalsuan yang ada di baliknya dengan sejumlah pengetahuan
yang kritis (hard science) dan sarat dengan data empiris.
Hasilnya, mereka memaparkan tujuh kebenaran tentang loyalitas pelanggan. Pertama,
janganlah mengelola retensi konsumen sebelum secara cermat memilih konsumen;
pastikan bahwa segala upaya memupuk loyalitas harus terarah pada konsumen yang tepat
dan yang diinginkan oleh perusahaan. Kedua, loyalitas butuh waktu untuk tumbuh, oleh
karena itu diperlukan perencanaan dan kesabaran. Ketiga, fokus pada ”share-of-walet” dan
jangan abaikan konsumen yang kecil porsinya; ”consumer polygamy” adalah realita saat ini.
Konsumen hanya akan menjalin hubungan monogami dengan merek tertentu bila kategori
produk tersebut sangat penting baginya. Keempat, setiap program loyalitas pelanggan
memerlukan interaksi timbal balik, dan bukan untuk kepentingan perusahaan semata.
Kelima, rangkaian peristiwa antara loyalitas pelanggan sampai dengan profit merupakan
sebuah fenomena yang kompleks. Oleh karena itu, pelajarilah dengan cermat pola respons yang spesifik dari konsumen dan industri. Keenam, karyawan yang puas dan loyal bisa
membuat perbedaan, tetapi kepuasan dan kesetiaan konsumen dapat dan sering kali
terjadi tanpa harus karyawannya puas dan loyal. Ketujuh, loyalitas pelanggan dan kekuatan
merek harus dikelola secara bersamaan dan tidak terpisahkan.
Memang, loyalitas masih tetap merupakan konsep bisnis yang sangat penting. Namun,
jangan terlalu menyederhanakannya, karena justru akan menghilangkan efektivitas untuk
dapat memanfaatkan secara optimal daya ungkitnya bagi peningkatan kinerja bisnis.
Supaya efektif, satu-satunya cara adalah membersihkan segala pengertian dan
pemahaman keliru yang selama ini telah mengontaminasi, sehingga lebih cerdas lagi
memanfaatkan strategi bisnis ini. Tantangan lain, karena realita pasar yang terus-menerus
berubah dengan cepat, maka sarana untuk loyalitas pelanggan akan terus berevolusi
sejalan dengan meningkatnya ekspektasi konsumen. Tidak bisa disangkal bahwa buku ini
termasuk yang ikut memberikan pencerahan.
Roy Goni, Pengajar Pemasaran pada Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya
Sumber : http://www.bnet.fordham.edu/aksoy/files/foreign/Indonesian%20review.pdf
Just Me..
- h3nDrYYyyy,,^_^
- Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
- Universitas Gunadarma Fakultas Ekonomi
Wednesday, December 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment